Nusantaratv.com - Beberapa waktu lalu muncul pro-kontra terkait Peraturan Pemerintah yang mewajibkan penumpang pesawat melakukan tes PCR 2x24 jam sebelum keberangkatan. Sejumlah pihak menyebut, kebijakan ini memberatkan masyarakat.
Dikutip dari era.id, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena meminta aparat penegak hukum melakukan tindakan tegas terhadap pihak yang memainkan harga tes PCR. Sebab, harga tes usap untuk Covid-19 itu masih belum merata.
Melki mengatakan, di beberapa daerah harga tes PCR masih sangat mahal. Misalnya di Bali ada yang mematok harga tes PCR mencapai Rp1,9 juta untuk hasil empat jam.
“Terkait dengan melambungnya harga tes PCR yang terjadi dibeberapa tempat di Indonesia, aparat hukum harus melakukan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang telah melakukan kecurangan harga tes PCR ini semua,” ujar Melki dalam keterangan tertulis, Selasa (26/10/2021).
Melki mengingatkan, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan agar harga tes PCR turun. Oleh karenanya, siapapun yang melanggar harus ditindak.
“Dalam situasi saat ini, kita tidak boleh memberi toleransi kepada orang-orang yang dengan sengaja tidak menjalankan perintah Presiden Jokowi,” kata Melki.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR yang lain, Netty Prasetiyani Aher meminta pemerintah menjelaskan dasar penetapan kebijakan diwajibkannya test reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) kepada calon penumpang pesawat di dalam negeri.
“Apakah sudah dilakukan penelitian sampling terkait mobilitas masyarakat melalui udara dengan peningkatan kasus positif? Ini penting agar masyarakat tahu bahwa kebijakan tersebut dibuat berdasarkan hasil penelitian ilmiah,” ujar Netty kepada wartawan, Senin (25/10) dikutip dari fajar.co.id.
Usai jadi sorotan, lantas muncul pertanyaan, siapa yang paling diuntungkan dari peraturan ini? Salah satunya tentu importir PCR dan Rapid Test Antigen.
Saat ini, importir dari dua alat tersebut didominasi oleh perseorangan atau korporasi non-pemerintah. Dikutip dari Suara.com, 77,16 persen impor kebutuhan penanganan pandemi dipegang korporasi non-pemerintah.
Sedangkan pemerintah hanya kebagian 6,67 persen dari keseluruhan aktivitas impor kebutuhan penanganan pandemi COVID-19 dan 6,18 persen pengadaan barang dari luar negeri dilakukan oleh lembaga non-profit.
Uniknya, pihak yang memiliki andil besar dalam impor itu ternyata tidak semuanya memiliki bisnis di bidang kesehatan.
Masih bersumber yang sama, dokumen terkait menyebut, beberapa perusahaan bahkan bergerak di bidang kecantikan, tekstil hingga ketel uap.
Data hingga akhir Juli 2021, berikut 7 importir terbesar alat kesehatan:
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB sebesar US$68,6 juta atau 6,29 persen
- PT Jenny Cosmetics dengan nilai impor sebesar US$43,6 juta atau 4 persen
- Kelompok usaha Dexa Group PT. Beta Pharmacon sebesar US$36,4 juta atau 3,34 persen. Kelompok usaha Dexa Group khusus melakukan importasi obat terapi Covid-19, tak terkait importasi rapid test maupun PCR.
- Perusahaan teknologi medis asal Jerman Dräger Medical Indonesia sebesar US$21,5 juta atau 1,98 persen
- Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dengan nilai US$21,07 juta atau 1,93 persen
- Perusahaan tekstil multi nasional PT Pan Brothers US$21,07 juta atau 1,93 persen
- Perusahaan ketel uap PT Trimitra Wisesa Abadi sebesar US$20,8 juta atau 1,91 persen
Sumber: suara.com