Nusantaratv.com - Perairan ekstrem—mulai dari danau hipersalin, zona laut dalam yang gelap total, hingga cekungan anoxic tanpa oksigen—selama ini dianggap sebagai tempat yang “tidak cocok” bagi kehidupan. Padahal, banyak proses ekologis penting terjadi di sana, termasuk produktivitas primer yang menjadi dasar terbentuknya rantai makanan akuatik.
Produktivitas primer adalah proses saat fitoplankton dan mikroorganisme fotosintetik lainnya mengubah energi matahari menjadi energi kimia yang bisa dimanfaatkan organisme lain. Proses ini menentukan seberapa subur suatu perairan, dan menjadi indikator kesehatan ekosistem perairan.
Namun apa yang terjadi ketika lingkungan tersebut berada pada kondisi yang ekstrem? Bagaimana organisme bertahan, dan bagaimana produktivitas primer berjalan dalam kondisi yang tampaknya tidak mendukung kehidupan?
Melalui jurnal ini empat mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) program studi Sarjana (S1) Manajemen Sumber Daya Perairan yaitu Dhiya Alima Hanun, Bintang Aryo, Michael Victor T.M dan Deborah Serephine M menjelaskan hal tersebut.
Mereka membandingkan lingkungan ekstrem di berbagai belahan dunia dengan salah satu estuari terpenting di Indonesia, Estuari Musi, Sumatera Selatan—yang memiliki kondisi semi-ekstrem akibat dinamika pasang surut, tingginya input nutrien, dan kekeruhan perairan.
Perairan Ekstrem: Lingkungan Keras yang Tetap Menghasilkan Kehidupan
Lingkungan perairan ekstrem ditandai oleh satu atau beberapa kondisi berikut:
-Suhu sangat tinggi (misalnya perairan vulkanik, hidrotermal)
-Zona afotik (tanpa cahaya, seperti laut dalam)
-Salinitas tinggi (danau hipersalin)
-Kondisi anoxic (tanpa oksigen)
-Tekanan hidrostatik tinggi (palung laut)
Kondisi ini menyebabkan produktivitas primer sering rendah. Namun beberapa mikroorganisme berkembang melalui mekanisme alternatif yang tidak bergantung pada cahaya, seperti kemosintesis, memanfaatkan sulfur, metana, atau bahan kimia lain sebagai sumber energi.
Ekosistem ekstrem ini penting untuk dipahami, karena memberi gambaran bagaimana kehidupan dapat beradaptasi dalam kondisi yang keras—bahkan relevan untuk riset astrobiologi dan pencarian kehidupan di planet lain.
Estuari Musi: Ekosistem Semi-Ekstrem di Indonesia
Estuari Musi memiliki karakteristik unik yang menjadikannya model real di Indonesia untuk melihat bagaimana produktivitas primer bekerja di lingkungan semi-ekstrem.
Penelitian yang dilakukan pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa kawasan ini mengalami:
-Fluktuasi salinitas 0–20 PSU
-Kekeruhan tinggi akibat sedimen dan aktivitas manusia
-Input nutrien besar (nitrat dan fosfat)
-Penurunan oksigen (hipoksia) di beberapa titik
-Klorofil-a pada kisaran 5–20 mg/m³ — indikator produktivitas primer sedang
Kekeruhan yang tinggi membatasi cahaya yang masuk ke kolom air, sehingga menghambat proses fotosintesis fitoplankton. Meski demikian, suplai nutrien yang besar dari aktivitas domestik, industri, dan aliran sungai tetap memungkinkan terjadinya produktivitas primer. Ini menciptakan situasi menarik: cahaya menjadi faktor pembatas, bukan nutrien.

Apa yang Mempengaruhi Produktivitas Primer di Estuari Musi?
1. Nutrien memperkaya ekosistem (efek positif).
Studi menunjukkan bahwa konsentrasi nitrat memiliki korelasi positif dengan klorofil-a. Artinya semakin banyak nitrat, semakin tinggi biomassa fitoplankton.
Nitrat dan fosfat ini sebagian besar masuk dari:
-limbah rumah tangga,
-aktivitas industri,
-erosi tanah,
-aliran sungai dari hulu.
2. Kekeruhan menurunkan produktivitas (efek negatif).
Kekeruhan tinggi membuat cahaya sulit menembus kolom air. Tanpa cahaya, fotosintesis tidak bisa berjalan optimal.
3. Risiko hipoksia menghantui ekosistem.
Penurunan oksigen terlarut (DO) terjadi karena peningkatan materi organik dan degradasi oleh bakteri. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa mengarah pada dead zone atau zona mati.
Kombinasi faktor-faktor ini menjadikan Estuari Musi sebagai contoh nyata bagaimana ekosistem tropis yang kaya nutrien justru bisa menjadi “semi-ekstrem” akibat tekanan manusia.
Apa Artinya untuk Pengelolaan Lingkungan?
Kajian produktivitas primer pada perairan ekstrem dan estuari memberikan beberapa pelajaran penting:
1. Nutrien yang tinggi tidak selalu baik.
Jika tidak dikontrol, ini dapat menyebabkan eutrofikasi dan ledakan alga.
2. Kekeruhan adalah faktor kunci di estuari tropis.
Mengurangi aktivitas yang meningkatkan sedimen (pembuangan tanah, pembangunan tepi sungai) sangat penting.
3. Pemantauan klorofil-a adalah indikator sederhana yang sangat informatif.
Klorofil-a mudah diukur dan menjadi barometer cepat kesehatan perairan.
4. Estuari harus diperlakukan sebagai ekosistem sensitif.
Karena menjadi tempat bertemunya air tawar–laut, tekanan kecil saja bisa berdampak besar.
Mengapa Ini Penting untuk Publik?
Estuari Musi bukan hanya jalur transportasi atau sumber ikan — tetapi juga sistem ekologis yang menyediakan jasa lingkungan penting bagi masyarakat Sumatera Selatan. Produktivitas primer yang stabil mendukung:
-populasi ikan dan biota lainnya,
-kualitas air,
-perikanan masyarakat,
-ketahanan ekosistem terhadap pencemaran.
Memahami bagaimana produktivitas bekerja di lingkungan ekstrem membantu kita melihat bahwa ekosistem bisa bertahan, tapi tetap memiliki batas. Jika tekanan dari aktivitas manusia terus meningkat, kemampuan adaptasi ekosistem akan semakin tertekan.
Kesimpulan
Perairan ekstrem mengajarkan bahwa kehidupan tetap dapat berlangsung dalam kondisi yang keras, tetapi terbatas oleh faktor lingkungan yang sangat spesifik. Estuari Musi menunjukkan karakter semi-ekstrem yang memengaruhi produktivitas primer melalui interaksi antara nutrien dan kekeruhan.
Untuk menjaga keberlanjutan kawasan ini, pemantauan kualitas air, pengurangan beban limbah, dan pengelolaan sedimen harus menjadi prioritas
Referensi:
1. Brown, K. (2020). Productivity responses in extreme aquatic systems. Aquatic Ecology, 54(2), 145–160
2. Liang, Z., Sun, H., & Zhao, Y. (2021). Turbidity impacts on tropical phytoplankton productivity. Estuarine Science Journal, 12(1), 44–58.
3. Putri, L., Rahman, A., & Dewi, T. (2022). Spatial–temporal chlorophyll-a variation in a turbid estuary. Journal of Coastal and Marine Studies, 15(3), 201–214.
4. Sari, A., Nugroho, Y., & Widodo, R. (2020). Chemosynthesis in extreme aquatic environments. Journal of Microbial Ecology, 8(1), 45–59.




Sahabat
Ntvnews
Teknospace
HealthPedia
Jurnalmu
Kamutau
Okedeh