Nusantaratv.com - Ekonomi dunia belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19. Bayang-bayang resesi tampak makin nyata yang dipicu pernyataan Presiden Rusia Vladimir Putin yang memperingatkan jika tekanan sanksi akan memicu 'perang energi'.
Kondisi ini membuat harga komoditas energi dan pangan akan terdongkrak lebih tinggi. Hal ini akan membawa tekanan inflasi pada banyak negara di dunia. Jika kondisi geopolitik ini berlangsung lama, dunia diperkirakan akan jatuh ke jurang resesi di akhir 2022 hingga 2023.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan secara global indikasi resesi seperti dekade 1970-an. Menurutnya, hal itu ditunjukkan oleh eskalasi perang, gangguan pada sisi pasokan, inflasi tinggi, dan pelambatan ekonomi di negara maju serta kenaikan suku bunga yang agresif.
"Bisa dikatakan resesinya akan panjang butuh 3-5 tahun untuk recover apalagi belum ada kejelasan kapan perang Rusia-Ukraina akan berakhir," ujar Bhima, dikutip dari Bisnis.com, Selasa (12/7/2022).
Sedangkan Managing Director International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgieva menyatakan proyeksi ekonomi global gelap secara signifikan sejak April. Pihaknya, kata dia, tidak bisa mengesampingkan kemungkinan resesi global tahun depan mengingat risiko yang tinggi.
Di sisi lain, terdapat sejumlah negara yang kemungkinan masuk ke jurang resesi, yakni Eurozone, Inggris, Jepang, Korea Selatan (Korsel), Kanada, Australia, dan Amerika Serikat (AS), menurut Nomura Holding Inc. "Tanda-tanda meningkat bahwa ekonomi dunia memasuki perlambatan pertumbuhan secara bersamaan," tulis Nomura.
Ditambahkannya, sebagian besar negara tidak akan mampu menyandarkan diri pada ekspor untuk bertumbuh. "Ini membuat kami memperkirakan adanya resesi berkelanjutan," tambahnya.
Kembali, Bhima mengungkapkan dampak resesi yang bisa berkepanjangan (long recession) ini akan menekan nilai tukar rupiah. "Proyeksinya menyentuh Rp16.000 pada akhir tahun ini," imbuhnya.
Sementara inflasi pangan dan energi terus mendorong terjadinya stagflasi karena kenaikan harga tidak diimbangi dengan naiknya kesempatan kerja. PMI Manufaktur kembali mengalami kontraksi di bawah level 50 karena naiknya biaya bahan baku dan perlambatan konsumsi domestik maupun permintaan ekspor.
"Suku bunga yang naik secara agresif menghambat laju penyaluran kredit perbankan," urai Bhima.
Dia juga mengingatkan agar Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melakukan stress test terhadap perbankan, asuransi dan lembaga keuangan lainnya, terutama berkaitan dengan dampak resesi di AS, keluarnya modal asing, dan kenaikan suku bunga yang eksesif.
Diketahui, Fed Fund Rate naik lebih dari empat kali setahun. Dia juga berharap Bank Indonesia (BI) segera menaikkan suku bunga 50 basis poin (bps). "Ini sebagai langkah pre-emptives menghadapi tekanan inflasi dan fluktuasi kurs di semester II/2022," terangnya.
Bhima menambahkan BI juga harus menambah negara mitra local currency settlement (LCS) dan beri insentif lebih besar bagi pelaku usaha ekspor agar menukar devisa dolar dengan rupiah.
Selain itu, pemerintah juga harus memperbaiki jaring pengaman sistem keuangan terutama skenario 'bail in'. "Pemerintah diharapkan meningkatkan serapan investor domestik dalam SBN untuk cegah volatilitas akibat keluarnya investor asing di pasar obligasi," tukas Bhima.