Nusantaratv.com-Rencana pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 menuai polemik. Pasalnya, kebijakan tersebut dirasa akan memberatkan dan bisa menyebabkan sektor bisnis semakin melemah.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Ajib Hamdani menegaskan pihaknya bukan menolak melainkan meminta pelaksanaan kenaikan PPN menjadi 12% ditunda.
Kalau melihat narasi yang dibangun oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, kata Ajib, pihaknya menangkap dua poin penting.
"Karena sudah menjadi amanah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan aperpajakan di mana memang betul disitu disebutkan bahwa pada tanggal 1 Januari 2025 pemerintah bisa menaikkan pajak menjadi 12%," kata Ajib dalam Dialog NTV Prime di NusantaraTV, Senin (25/11/2024).
"Yang kedua adalah memang ini menjadi kebutuhan budgeter atau kebutuhan buat anggaran negara," imbuhnya.
Ajib mengatakan terkait masalah legal standingnya sebenarnya pemerintah ini masalah wilingness. Karena kalau pemerintah mau sebenarnya pemerintah juga pernah melakukan penundaan untuk objek pajak yang memang belum siap.
"Contoh di undang-undang yang sama di HPP tersebut disebutkan bahwa pada bulan April 2022 seharusnya dikenakan pajak karbon. Tapi faktanya sampai sekarang pemerintah juga belum menerapkan pajak karbon karena konsideran yang dibangun," ujarnya.
Berkaca dari pengalaman tersebut, kata Ajib, kalau pemerintah mau membangun konsideran berpikir bahwa sekarang daya beli masyarakat sedang menurun, sekarang deflasi sedang terjadi, sekarang pertumbuhan ekonomi juga sedang mengalami slow down dan lain-lain.
"Itu sebenarnya bisa artinya narasi yang dibangun oleh Bu Menteri Keuangan yang pertama terbantahkan," tandasnya.
"Sekarang kedua, berbicara masalah kebutuhan budgeter. Kalau hitung-hitungan kita memang dengan pemerintah hanya cukup menaikkan 1% PBN dari dari 11 menjadi 12% maka pemerintah bisa potensi menambah kira-kira di angka 80 triliun sama 100 triliun. Asumsinya karena pada tahun 2023 kemarin pemerintah itu penerimaan PPN dan PPN BM diangkat sekitar Rp760 triliun Asumsinya dengan pertumbahan ekonomi dikisaran 5% dan inflasi 2% maka potensinya kira-kira akan nambah 80 triliun," tambahnya.
Menurut Ajib, sebenarnya pemerintah bisa melakukan jalan lain kalau untuk menambal kekurangan negara karena memang faktanya APBN 2025.
"Sangat luar biasa sempit ruangnya. Kita bisa bayangkan dengan 3.600 triliun belanja negara itu potensi penerimaan negara itu hanya 2.100 triliun pajak sekitar 400-an triliun, cukai dan 500-an triliun dari PNBP atau penerima negara bukan pajak. Artinya dengan 3.000 triliun uang terkumpul pun 600 triliun juga masih hutang dunia usaha memahami itu. Tapi sebenarnya kalau Bu Menteri Keuangan itu bisa kreatif itu sebenarnya bisa ditambal dari potensi penerimaan yang lain dan banyak opsi yang sudah kita berikan kepada pemerintah," paparnya.
Hal itu yang menjadi dasar bagi Apindo mendorong agar pemerintah menunda kenaikan tarif PPN sampai daya beli masyarakat sudah kembali membaik.
Ajib menambahkan jika pemerintah memaksakan untuk memberlakukan kenaikan PPN menjadi 12% pada awal tahun depan, bukan hanya pengusaha yang terdampak tetapi masyarakat juga bakal terbebani.
"Pada faktanya PPN itu adalah pajak yang ditanggung oleh seluruh masyarakat. Mau dia masyarakat miskin, menengah atau atas. Sepanjang dia membelanjakan atas barang dan jasa yang kena pajak maka dia harus membayar itu. Kemudian uang pajak itu dititipkan lewat pengusaha kemudian pengusaha nyetor ke negara," bebernya.
"Itulah namanya filosofi dari pajak tidak langsung dari objek PPN tidak langsung. Kemudian kalau ditanya sekarang sektor mana yang akan kena? Semua sektor yang kena pajak. Karena kemudian ketika ini mengurangi daya beli masyarakat kemudian ketika tarif PPN dinaikkan dan kemudian volume barang dan jasa yang ada di masyarakat di sistem ekonomi berkurang sudah otomatis ini akan semakin mengurangi dunia usaha," pungkasnya.