NTV Insight: Pakar Industri Kelapa Sawit: Kita Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Dunia, Kenapa Tidak Bisa Menentukan Harga Sendiri?

Nusantaratv.com - 22 Desember 2024

Pakar Industri Kelapa Sawit/Presdir PT Cahaya Wiguna Solusi Posma Sinurat dalam acara diskusi NTV Insight di Nusantara TV/tangkapan layar NTV
Pakar Industri Kelapa Sawit/Presdir PT Cahaya Wiguna Solusi Posma Sinurat dalam acara diskusi NTV Insight di Nusantara TV/tangkapan layar NTV

Penulis: Ramses Manurung

Nusantaratv.com-Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Tapi ironisnya dalam hal menetapkan harga, Indonesia masih tergantung pada Malaysia dan Belanda. Kenapa kondisi ini bisa terjadi dan apa keuntungan dan kerugian jika Indonesia menentukan sendiri harga produk kelapa sawitnya?

Topik ini menjadi pembahasan dalam program NTV Insight di Nusantara TV. Diskusi menghadirkan dua narasumber yakni Pakar Industri Kelapa Sawit/Presdir PT Cahaya Wiguna Solusi Posma Sinurat dan Ketua Dewan Pakar Asosiasi Logistik Indonesia, Nofrisel. 

Pakar Industri Kelapa Sawit/Presdir PT Cahaya Wiguna Solusi, Posma Sinurat mengungkapkan pertanyaan soal kenapa Indonesia tidak bisa menentukan sendiri harga produk kelapa sawitnya sudah terdengar lama. 

"Kenapa Indonesia selalu ngikuti harga Malaysia kemudian Belanda? Kenapa kita tidak pernah menentukan harga kita sendiri?" ungkap Posman Sinurat. 

"Jadi memang apa sih kerugiannya kalau bukan kita yang menentukan kan?" imbuhnya. 

Posman mengatakan sejak tahun 2006 Indonesia menjadi negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. 

"Tetapi orang lain yang menentukan. Ini kan menyakitkan," ujarnya. 

Berkaca dari apa yang dilakukan Malaysia hingga negara tersebut bisa menentukan harga sendiri, kata Posman, di Malaysia tahun 80-an sudah ada bursa CPO. 

"Sehingga mereka sudah bisa menentukan harga. Nah kenapa mereka sudah ada itu? Jadi memang mereka pertama sekali dulu semua itu harus ada standar-standarnya. Semuanya diterstandarisasi. Pada akhirnya quantity bisa terjamin, quality bisa terjamin. Karena semua prosesnya sudah distandarkan," tuturnya. 

Indonesia sendiri masih mengikuti standar-standar yang dibuat oleh Malaysia. Baru belakangan ini membuat standar sendiri. 

"Oktober 2023 lalu Indonesia pun sudah mempunyai bursa CPO Indonesia. Dan sudah mulai di sana transaksi. Ketika nanti sudah berjalan lebih lama lagi sudah banyak bertransaksi dari sana di sinilah kita bisa menjadi benar-benar berdaulat untuk menentukan harga itu," terang Posman.

Menurut Posman, pemerintah sudah memahami penyebab Indonesia tidak bisa menentukan harga sendiri untuk produk kelapa sawit. 

"Walaupun agak terlambat tapi lebih bagus terlambat daripada tidak pernah.

Posman juga menekankan pentingnya kolaborasi pemerintah, swasta maupun pihak-pihak terkait untuk memaksimalkan potensi industri kelapa sawit Indonesia.   

"Misalnya di satu tempat tidak ada pelabuhan. Supaya lebih efisien bisa saja beberapa perusahaan yang ada di sana membuat satu pelabuhan bersama. Sekarang ini kan banyak juga perusahaan-perusahaan yang membangun pelabuhan-pelabuhan mereka kecil-kecil. Akhirnya biaya operasionalnya tinggi. Sebenarnya bisa saja dibuat pelabuhan. Pasti biaya itu akan lebih rendah. Jadi sebenarnya kolaborasi cukup penting dilakukan khususnya di daerah-daerah terpencil misalnya di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera," paparnya. 

Selain itu, kolaborasi dalam proses manajemen juga penting untuk dilakukan. 

"Di pabrik kelapa sawit kan tidak semua pemilik-pemilik perusahaan itu yang benar-benar memahami bagaimana memanage operasional kebun dan pabrik. Masih ada juga pemilik perusahaan yang masih menggunakan manajemen yang belum direkrut dari orang-orang yang berpengalaman. Karena pengetahuan kurang sehingga biayanya tinggi dan produktivitas rendah," ucap Posman. 

Melalui kolaborasi tersebut, kata Posman, profesional-profesional yang menawarkan jasanya sebagai konsultan bisa memberikan masukan-masukan. Sehingga perkembangan perusahaan tersebut bisa dipastikan perlahan-lahan akan naik. 

Karena mulai dari A sampai Z proses produksi bisa efektif dan efisien. 

"Misalnya biaya Rp500-Rp700 per kilogram di kebunnya dianggap sudah efisien. Padahal orang lain kan ada yang Rp400 ada yang Rp500 memang ada juga yang sampai Rp1.200 bahkan lebih ketika di daerahnya di Papua," terangnya. 

"Di pabrik juga seperti itu. Biaya saya hanya Ro150 itu sudah hal yang biasa tetapi orang lain kan ada yang biayanya hanya Rp70," lanjutnya. 

"Kenapa kita tidak belajar termasuk kolaborasi. Supaya kita bisa menjadi benchmarking. Sebagai titik untuk kita meningkatkan produktivitas kita," pungkasnya. 

 

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close