Nusantaratv.com - Anggota Komisi VI DPR RI Sondang Tiar Debora Tampubolon mencatat setidaknya ada tiga hal penyebab kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng dan komoditi lainnya. Pertama, negara dianggap tidak menguasai cabang-cabang produksi komoditas tadi, kedua, salah dalam membuat dan menjalankan kebijakan terkait stabilisasi harga.
Serta ketiga, adanya climate change atau perubahan iklim yang membuat produksi CPO, hingga minyak zaitun dan minyak jagung turun.
Atas itu Sondang meminta Kementerian Perdagangan dan pihak terkait lainnya, memperhatikan dan mengatasi berbagai persoalan-persoalan utama tersebut.
"Karena itu Pak Menteri yang perlu kita sampaikan adalah bahwa, tadi penetapan yang namanya harga keekonomian ke pasar itu sudah baik. Kalau negara tidak bisa menguasai cabang-cabang produksi, terutama misalnya daging, pemerintah bisa melakukan impor," ujar Sondang dalam rapat kerja dengan Menteri Perdagangan (Mendag) RI Muhammad Lutfi, membahas stabilisasi harga dan pasokan bahan pokok jelang Ramadan dan Lebaran mendatang, Kamis (17/3/2022).
"Tetapi kalau kita penghasil terbesar memang mau tidak mau negara harus menguasai itu. Alih-alih menetapkan HET, DMO dan DPO, bagaimana negara menggenjot yang namanya produksi, membanjiri pasar," imbuhnya.
Apalagi, crude palm oil (CPO) yang menjadi bahan baku minyak goreng merupakan kebutuhan dunia, bukan hanya Indonesia. Sehingga persoalan seperti ini diperkirakan akan terus terjadi.
"Karena itu kami berharap bahwa bagaimana koordinasi antar lintas kementerian supaya dapat menggenjot yang namanya produksi, memperbaiki climate change," kata Sondang.
Sondang mengaku telah menerima aspirasi atau keluhan dari masyarakat khususnya petani, terkait perubahan iklim yang sangat memengaruhi produktivitas mereka. Yang pada akhirnya berdampak pada pendapatan.
"Kami juga melakukan audiensi dengan beberapa petani di Sumatera dan Kalimantan, bahwa saat ini climate change itu terjadi Pak (Mendag). Bagaimana iklim, musim hujan dan musim panas tidak bisa diprediksi lagi sekarang," kata dia.
"Di Kalimantan yang seharusnya sekarang sudah memasuki musim panas, itu musim hujan. Dari pagi sampai sore, itu rata-rata heavy raining (hujan lebat). Ketika sudah hujan, mereka kapan lagi akan panen? Kapan lagi mereka melakukan pemupukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman? Kita harus mengakui (realita ini)," sambung Sondang.
Ia juga meminta pemerintah mengendalikan harga pupuk yang kerap melonjak. Sebab walaupun produksi turun, para petani termasuk petani sawit tetap mengeluarkan biaya produksi yang tinggi.
"Kalau barangnya tidak dipupuk, tidak mungkin, produksi tidak akan naik. Nah itu harus dipikirkan. Saya memberikan realita-realita yang terjadi di hulunya," tuturnya.
Politikus PDI Perjuangan ini menegaskan, dirinya tidak membela pihak mana pun dalam masalah mahal dan langkanya minyak goreng. Menurut Sondang dirinya hanya ingin persoalan ini benar-benar tuntas, sehingga tak terulang kembali di kemudian hari.
"Kita harus membela seluruh masyarakat Indonesia, baik itu masyarakat konsumen maupun masyarakat produsen. Itulah yang terjadi," ucapnya.
Lebih lanjut, Sondang juga menyoroti kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) CPO. Menurutnya, kebijakan tersebut harus dikaji secara menyeluruh dari berbagai sisi baik untuk konsumen, maupun produsen. Sehingga tak ada pihak yang dirugikan, dan pada akhirnya harga dan ketersediaan minyak goreng senantiasa terjaga.
"Kalau untuk barang-barang tambang ya, karena mereka tidak perlu melakukan penanaman. Mereka tidak perlu melakukan pembibitan, pemupukan, pengairan dan sebagainya. Itu tinggal ambil Pak, biaya investasinya hanya alat berat ambil. Dan itu wajib yang namanya DMO. Tetapi dalam hal pertanian, perkebunan itu ada investasi besar. Itu harus dihitung," jelas Sondang.
"Kami tidak bertentangan dengan kebijakan DMO ini, tetapi bagaimana pemerintah memikirkan supaya tidak berlawanan dengan mekanisme pasar," imbuhnya.
Sondang pun mengaku senang dengan kebijakan subsidi pemerintah menyikapi kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng. Namun menurutnya kebijakan tersebut tak tepat.
Idealnya, kata dia subsidi tunai diberikan secara langsung kepada masyarakat yang membutuhkan dan UMKM ultra mikro. Sehingga penyelewengan seperti minyak goreng curah dijual mahal karena dijadikan minyak goreng kemasan, tak terjadi lagi.
"Saya yakin dengan adanya pelepasan produksi yang premium ke harga keekonomian, saya yakin ini menjadi titik balik kita menjadi bangsa yang mandiri. Karena subsidi itu benar-benar tepat sasaran. Yang tidak perlu disubsidi ya tidak perlu. Kita beli lah kemasan-kemasan yang premium," paparnya.
"Saya yakin ini jadi titik balik kita keluar dari negara dengan middle income trap. Mau tidak mau misalnya ada kebutuhan yang memang harus naik di sana, income kita ya harus naik," lanjut Sondang.