Gawat! Inflasi AS Tembus 9,1% Karena Kenaikan Harga BBM

Nusantaratv.com - 14 Juli 2022

Presiden AS Joe Biden/ist
Presiden AS Joe Biden/ist

Penulis: Ramses Manurung

Nusantaratv.com - Krisis ekonomi yang kini melanda dunia tak hanya dirasakan oleh negara-negara miskin atau berkembang. Negara maju dan kaya juga tak luput dari imbas kondisi perekonomian dunia yang sedang lesu, termasuk Amerika Serikat (AS).

Terbukti, angka inflasi di Amerika Serikat (AS) terus meroket. Periode Juni inflasi tercatat di level 9,1% secara tahunan. Dari sebelumnya berada di angka 8,6% pada bulan Mei lalu.

Angka inflasi ini merupakan yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Sebelumnya para ekonom memprediksi inflasi di kisaran 8,8%. Ini berarti angka realisasi inflasi meleset jauh dari perkiraan para ekonom.

Indeks Harga Konsumen bulan Juni juga mengalami kenaikan terutama untuk barang dan jasa yang naik 1,3%.

Penyebab dari tingginya inflasi ini karena harga bensin yang meroket hingga hampir 60% sepanjang tahun. Pada bulan lalu, harga bensin secara rata-rata menyentuh US$ 5 di seluruh AS. 

Kemudian harga listrik naik 13,7% dan gas alam naik 38,4%. Secara keseluruhan harga energi tercatat mengalami kenaikan hingga 41,6% dari tahun ke tahun.

Baca juga: Puan Ajak Negara G20 Selamatkan Dunia dari Krisis Global

Hal ini juga terasa di sektor pangan yang naik 12,2% sepanjang tahun. Mulai dari harga telur yang naik 33,1%, mentega 21,3%, susu 16,4%, daging ayam naik 18,6% dan kopi naik 15,8%.

Menyikapi kondisi ini, Presiden Joe Biden menyebut jika angka inflasi ini memang melambung tinggi. Namun angka itu disebut 'jadul' karena harga gas telah turun dalam 30 hari terakhir.

Apalagi saat ini harga bensin dan minyak mentah sekarang sudah berada di bawah US$ 100 per barel.

"Untuk energi saja sudah mencakup hampir separuh dari kenaikan angka inflasi bulanan. Data ini belum memuat dampak penurunan harga bensin," jelas Biden, mengutip detikcom.

Biden memang akan memprioritaskan untuk melawan inflasi di AS. 

Saat ini warga AS harus merogoh kocek hingga US$ 493 per bulan untuk belanja barang dan jasa. Kepala Ekonom Moody's Analytics Mark Zandi menjelaskan hal ini karena harga yang terus naik tapi tak diimbangi dengan kenaikan upah kerja.

Penghasilan rata-rata pekerja tak sebanding dengan naiknya angka inflasi. "Inflasi telah mengikis nilai penghasilan. Daya beli masyarakat turun," kata Direktur Pelaksana Charles, Kathy Jones.

 

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close