Nusantaratv.com - Ekonom senior Chatib Basri memprediksi Amerika Serikat (AS) dan China tidak akan mengalami resesi tahun ini, namun perekonomian China diperkirakan bakal melambat.
“Di China akan ada perlambatan, tapi tidak resesi. Kalau resesi itu tumbuh negatif. China tidak akan tumbuh negatif, tapi mungkin bisa tumbuh 4,5 persen,” kata Chatib Basri saat ditemui pada kegiatan IIF’s Anniversary Dialogue bertema “The Dynamics of Sustainable Infrastructure Financing and Its Roles in Achieving Food Security” di Jakarta, Senin.
Mantan Menteri Keuangan periode 2013-2014 itu meyakini peluang resesi di Amerika Serikat pada tahun ini terbilang kecil. Dia berpendapat perekonomian Amerika Serikat bakal tumbuh lebih baik.
“Saya setuju bahwa probabilitas resesi kecil di Amerika Serikat,” ujar dia.
Sementara itu, Kepala Ekonom China di J.P. Morgan Zhu Haibin menilai data ekonomi China secara keseluruhan lebih baik dari perkiraan untuk sebagian besar bulan sejak Agustus.
Dia berpendapat konsumsi akan terus menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi China pada 2024 dan tingkat tabungan rumah tangga diperkirakan akan turun ke level pra-COVID-19, yang akan menambah 1 poin persentase pada pertumbuhan konsumsi riil.
Produk Domestik Bruto (PDB) China tumbuh 5,2 persen secara tahunan (year on year) ke level tertinggi baru yaitu 126,06 triliun yuan (sekitar Rp277,8 kuadriliun) tahun lalu, menurut Biro Statistik Nasional (NBS) China.
Tingkat pertumbuhan ini lebih tinggi dari target tahunan pemerintah, yaitu sekitar 5 persen, dan melampaui kenaikan sebesar 3 persen pada 2022.
Di sisi lain, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menuturkan pertumbuhan PDB AS pada kuartal IV-2023 turun menjadi 3,3 persen dari 4,9 persen pada kuartal sebelumnya, namun lebih tinggi dari ekspektasi sebesar 2 persen.
Pendorong utama pertumbuhan PDB yang solid di AS adalah sektor jasa, yang tumbuh sebesar 2,4 persen secara kuartalan dari 2,2 persen pada periode sebelumnya.
Secara keseluruhan, PDB AS tumbuh sebesar 2,5 persen pada tahun 2023 dari 1,9 persen pada tahun 2022.
Pertumbuhan PDB AS yang lebih tinggi dari perkiraan cenderung meningkatkan risiko kebijakan suku bunga "higher-for-longer".(Ant)